POLITIK : MEILIANA DAN PASAL PENODAAN AGAMA
Meiliana adalah seorang perempuan dan
ibu biasa yang siang itu mengeluhkan kerasnya suara azan dari masjid depan
rumah yang ia sewa. Sebuah percakapan lazim antara penjual dan pembeli yang
sedang berbelanja di warung.
Akan tetapi, omongannya itu tiba-tiba
menjadi milik banyak warga, menjadi desas-desus yang dibumbui provokasi, hingga
berujung pembakaran tak hanya tempat tinggalnya, namun juga tempat ibadah umat
Buddha di kota Tanjung Balai.
Beberapa tanggapan terhadap kasus ini
pun mencuat terutama pada kelompok kelompok agama yang berpendapat pro dan
kontra terhadap jatuhnya vonis 1,5 tahun penjara atas dugaan kasus penistaan
agama ini.
“Kembali pada aturan yang ada di negara
kita, pengeras suara masjid khususnya itu sudah diatur dirjen kementrian agama.
Namun belum ada aturan atau sanksi tentang pengeras suara masjid ini dan orang
yang akan memprotesnya. Menurut saya, Meiliana ini salah besar dalam cara
memprotesnya terutama dari sikap dan tata bahasa yang digunakan, Namun yang
harusnya ia dapatkan adalah sanksi sosial. Karena menurut saya dia tidak
menistakan agama dengan alasan, dia hanya memprotes toa masjid bukan isi dari
adzannya” tanggapan Ceria sebagai ketua PMK fisip UNMUL.
Dengan viralnya berita tersebut pun di sosial
media, sekelompok orang memanfaatkan berita ini untuk menggiring opini publik
agar dapat memecah belah kelompok mayoritas dan minoritas di negara ini.
Apalagi kasus meiliana ini merembet hingga penghancuran 3 vihara yang diduga di
lakukan oleh kelompok mayoritas.
Kasus Meiliana ini tambah di perumit
dengan jatuhan putusan hakim yang memvonis 1,5 tahun penjara dan sedangkan
sekelompok orang yang membakar vihara hanya satu hingga tiga bulan penjara.
Minoritas merasa bahwa ketidakadilan putusan hakim karena tekanan dari kelompok
mayoritas di negara ini.
Sejak kasus Ahok, Negara indonesia saat
ini sangat sensitif sekali jika membahas tentang agama, yang seharusnya kaum
mayoritas melindungi minoritas dan minoritas menghargai mayoritas semakin lama
semakin turun tingkat toleransi antar sesama.
“Perlu adanya tinjauan ulang mengenai
pasal 156a KUHP, karena pada pasal ini banyak menimbulkan kontra masyarakat
sebagai pasal yang dibilang “pasal karet” dikarenakan pada pasal ini terlihat
tidak tegas dan terkesan fleksibel. Dalam artian penistaan agama atau bentuk
protes akan agama yang dianut itu balik lagi ke niat atau memang hanya tidak
sengaja mengucapkan saja” Tambah Ceria dalam tanggapannya
Anggota
LDK fisip UNMUL juga menanggapi kasus ini. Menurutnya, sikap Meiliana sudah
berlebihan. Tidak sepantasnya mengklaim permasalahan adzan yang sudah menjadi
kewajiban muslim. Sepantasnya tidak mengusik masalah ibadah dan intinya
toleransi antar umat beragama.
“Sebaiknya pasal 156a KUHP juga disadari oleh
Meiliana kapasitas untuk berbicara soal ibadah. Jika memang harus direvisi
karena dirasa pasal tidak bisa menjadi payung masyarakat ya silahkan saja.
Pasal karet atau tidak, sebenarnya pasal itu baik baik saja namun dengan
banyaknya kasus yang berkembang sekarang makan dirasa pasal itu dapat memuaskan
masyarakat.” Jelas Arly sebagai anggota LDK fisip UNMUL.
Komentar
Posting Komentar